Paduan Suara Mars DBKS

Paduan Suara Mars DBKS Desa Maguwoharjo Kecamatan Depok sedang menyayikan Mars DBKS dalam acara evaluasi lomba DBKS Tingkat Kabupaten Sleman.

Tamu Undangan Muspika Depok

Tamu undangan dari unsur Muspika kecamatan Depok sedang menghadiri acara evaluasi loma DBKS Desa Maguwoharjo tingkat kabupaten Sleman

Bimbingan Manasik Haji

H. Muhammad Chaeruddin sedang memberikan penjelasan dan materi dalam rangka manasik haji kecamatan Depok kabupaten Sleman

Praktik Manasik Haji

Para jamaah calon haji kecamatan Depok sedang melaksanakan praktik manasik haji untuk menyempurnakan materi yang diterima secara teoretis

Administrasi Manasik Haji

Untuk mewujudkan pelaksanaan bimbingan manasik haji di Tingkat Kecamatan Depok, harus ditunjang dengan administrasi yang efektif dan efiesien

Jumat, 31 Desember 2010

Kontak Kami

Perkenalkanlah pemilik media online ini adalah H. Muh. Chaeruddin. Sehari-hari saya bertugas sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Bagi yang berkeinginan menghubungi saya, dapat kontak atau tulis pesan lewat:
1. Buku Tamu Media Online ini;
2. Kotak Pesan Singkat Media Online ini juga;
3. email: http://hajichaerudin@gmail.com; atau
4. Datang ke KUA Kec. Depok. Jl. Raya Tajem km 1,5 Maguwoharjo, Depok, Sleman.

Jumat, 17 Desember 2010

CINTA DAN MENCINTAI ALLAH

CINTA DAN MENCINTAI ALLAH
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, "Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; memba-tasinya justru hanya akan menambah kabur dan kering maknanya. Maka ba-tasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.
Kebanyakan orang hanya membe-rikan penjelasan dalam hal sebab-musabab, konsekuensi, tanda-tanda, penguat-penguat dan buah dari cinta serta hukum-hukumnya. Maka batasan dan gambaran cinta yang mereka berikan berputar pada enam hal di atas walaupun masing-masing berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada pengetahuan,kedudukan, keadaan dan penguasaannya terhadap masalah ini. (Madarijus-Salikin 3/11)
BEBERAPA DEFINISI CINTA:
1. Kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai).
2. Kesediaan hati menerima segala keinginan orang yang dicintainya.
3. Kecenderungan sepenuh hati untuk lebih mengutamakan dia daripada diri dan harta sendiri, seia sekata dengannya baik dengan sembunyi-sebunyi maupun terang-terangan, kemudian merasa bahwa kecintaan tersebut masih kurang.
4. Mengembaranya hati karena mencari yang dicintai sementara lisan senantiasa menyebut-nyebut namanya.
5. Menyibukkan diri untuk mengenang yang dicintainya dan menghinakan diri kepadanya.
6. Kesedian berkorban untuk memenuhi keinginan yang menjadi buah hatinya dan melaksanakannya dengan pebuh keikhlasan.
PEMBAGIAN CINTA
1. Cinta ibadah
Ialah kecintaan yang menyebabkan timbulnya perasaan hina kepadaNya dan mengagungkanNya serta bersema-ngatnya hati untuk menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangaNya.
Cinta yang demikian merupakan pokok keimanan dan tauhid yang pelakunya akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak terhingga.
Jika ini semua diberikan kepada selain Allah maka dia terjerumus ke dalam cinta yang bermakna syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam hal cinta.
2. Cinta karena Allah
Seperti mencintai sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa tempat tertentu, waktu tertentu, orang tertentu, amal perbuatan, ucapan dan yang semisalnya. Cinta yang demikian termasuk cinta dalam rangka mencintai Allah.
3. Cinta yang sesuai dengan tabi'at (manusiawi),
yang termasuk ke dalam cintai jenis ini ialah:
a. Kasih-sayang, seperti kasih-sayangnya orang tua kepada anaknya dan sayangnya orang kepada fakir-miskin atau orang sakit.
b. Cinta yang bermakna segan dan hormat, namun tidak termasuk dalam jenis ibadah, seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya, murid kepada pengajarnya atau syaikhnya, dan yang semisalnya.
c. Kecintaan (kesenangan) manusia kepada kebutuhan sehari-hari yang akan membahayakan dirinya kalau tidak dipenuhi, seperti kesenangannya kepada makanan, minuman, nikah, pakaian, persaudaraan serta persahabatan dan yang semisalnya.
Cinta-cinta yang demikian termasuk dalam kategori cinta yang manusiawi yang diperbolehkan. Jika kecintaanya tersebut membantunya untuk mencintai dan mentaati Allah maka kecintaan tersebut termasuk ketaatan kepada Allah, demikian pula sebaliknya.
KEUTAMAAN MENCINTAI ALLAH
1. Merupakan Pokok dan inti tauhid
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa'dy, "Pokok tauhid dan inti-sarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata. Dan itu merupakan pokok dalam peng- ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menye-rahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman. (Al-Qaulus Sadid,hal 110)
2. Merupakan kebutuhan yang sangat besar melebihi makan, minum, nikah dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: "Didalam hati manusia ada rasa cinta terhadap sesuatu yang ia sembah dan ia ibadahi ,ini merupakan tonggak untuk tegak dan kokohnya hati seseorang serta baiknya jiwa mereka. Sebagaimana pula mereka juga memiliki rasa cinta terhadap apa yang ia makan, minum, menikah dan lain-lain yang dengan semua ini kehidupan menjadi baik dan lengkap.Dan kebutuhan manusia kepada penuhanan lebih besar daripada kebutuhan akan makan, karena jika manusia tidak makan maka hanya akan merusak jasmaninya, tetapi jika tidak mentuhankan sesuatu maka akan merusak jiwa/ruhnya. (Jami' Ar-Rasail Ibnu Taymiyah 2/230)
3. Sebagai hiburan ketika tertimpa musibah
Berkata Ibn Qayyim, "Sesungguh-nya orang yang mencintai sesuatu akan mendapatkan lezatnya cinta manakala yang ia cintai itu bisa membuat lupa dari musibah yang menimpanya. Ia tidak merasa bahwa itu semua adalah musibah, walau kebanyakan orang merasakannya sebagai musibah. Bahkan semakin menguatlah kecintaan itu sehingga ia semakin menikmati dan meresapi musibah yang ditimpakan oleh Dzat yang ia cintai. (Madarijus-Salikin 3/38).
4. Menghalangi dari perbuatan maksiat.
Berkata Ibnu Qayyim (ketika menjelaskan tentang cinta kepada Allah): "Bahwa ia merupakan sebab yang paling kuat untuk bisa bersabar sehingga tidak menyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya. Karena sesungguhnya seseorang pasti akan mentaati sesuatu yang dicintainya; dan setiap kali bertambah kekuatan cintanya maka itu berkonsekuensi lebih kuat untuk taat kepada-Nya, tidak me-nyelisihi dan bermaksiat kepada-Nya.
Menyelisihi perintah Allah dan bermaksiat kepada-Nya hanyalah bersumber dari hati yang lemah rasa cintanya kepada Allah.Dan ada perbeda-an antara orang yang tidak bermaksiat karena takut kepada tuannya dengan yang tidak bermaksiat karena mencintainya.
Sampai pada ucapan beliau, "Maka seorang yang tulus dalam cintanya, ia akan merasa diawasi oleh yang dicintainya yang selalu menyertai hati dan raganya.Dan diantara tanda cinta yang tulus ialah ia merasa terus-menerus kehadiran kekasihnya yang mengawasi perbuatannya. (Thariqul Hijratain, hal 449-450)
5. Cinta kepada Allah akan menghilangkan perasaan was-was.
Berkata Ibnu Qayyim, "Antara cinta dan perasaan was-was terdapat perbe-daan dan pertentangan yang besar sebagaimana perbedaan antara ingat dan lalai, maka cinta yang menghujam di hati akan menghilangkan keragu-raguan terhadap yang dicintainya.
Dan orang yang tulus cintanya dia akan terbebas dari perasaan was-was karena hatinya tersibukkan dengan kehadiran Dzat yang dicintainya tersebut. Dan tidaklah muncul perasaan was-was kecuali terhadap orang yang lalai dan berpaling dari dzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan tidaklah mungkin cinta kepada Allah bersatu dengan sikap was-was. (Madarijus-Salikin 3/38)
6. Merupakan kesempurnaan nikmat dan puncak kesenangan.
Berkata Ibn Qayyim, "Adapun mencintai Rabb Subhannahu wa Ta'ala maka keadaannya tidaklah sama dengan keadaan mencin-tai selain-Nya karena tidak ada yang paling dicintai hati selain Pencipta dan Pengaturnya; Dialah sesembahannya yang diibadahi, Walinya, Rabb-nya, Pengaturnya, Pemberi rizkinya, yang mematikan dan menghidupkannya. Maka dengan mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menenteramkan hati, menghidupkan ruh, kebaikan bagi jiwa menguatkan hati dan menyinari akal dan menyenangkan pandangan, dan menjadi kayalah batin. Maka tidak ada yang lebih nikmat dan lebih segalanya bagi hati yang bersih, bagi ruh yang baik dan bagi akal yang suci daripada mencintai Allah dan rindu untuk bertemu dengan-Nya.
Kalau hati sudah merasakan manisnya cinta kepada Allah maka hal itu tidak akan terkalahkan dengan mencintai dan menyenangi selain-Nya. Dan setiap kali bertambah kecintaannya maka akan bertambah pula pengham-baan, ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan membebaskan diri dari penghambaan, ketundukan ketaatan kepada selain-Nya."(Ighatsatul-Lahfan, hal 567)
ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH Subhannahu wa Ta'ala
Allah Subhannahu wa Ta'ala mencintai dan dicintai. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman di dalam surat Al-Ma'idah: 54, yang artinya: "Maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah."
Mereka yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta'ala :
1. Attawabun (orang-orang yang bertau-bat), Al-Mutathahhirun (suka bersuci), Al-Muttaqun (bertaqwa), Al-Muhsinun (suka berbuat baik) Shabirun (bersa-bar), Al-Mutawakkilun (bertawakal ke-pada Allah) Al-Muqsithun (berbuat adil).
2. Orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam satu barisan seakan-akan mereka satu bangunan yang kokoh.
3. Orang yang berkasih-sayang, lembut kepada orang mukmin.
4. Orang yang menampakkan izzah/kehormatan diri kaum muslimin di hadapan orang-orang kafir.
5. Orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Allah.
6. Orang yang tidak takut dicela manusia karena beramal dengan sunnah.
7. Orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah wajib.
SEBAB-SEBAB UNTUK MENDAPATKAN CINTA ALLAH Subhannahu wa Ta'ala
1. Membaca Al-Qur'an dengan memikir-kan dan memahami maknanya.
2. Berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan ibadah sunnah setelah menyelesaikan ibadah yang wajib.
3. Selalu mengingat Allah Subhannahu wa Ta'ala , baik dengan lisan, hati maupun dengan anggota badan.
4. Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala daripada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
5. Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasulullah daripada mencintai yang selain Allah dan Rasul-Nya
6. Memahami dan mendalami dengan hati tentang nama dan sifat-sifat Allah.
7. Melihat kebaikan dan nikmat Allah yang telah diterimanya baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
8. Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah.
9. Beribadah kepada Allah pada waktu sepertiga malam terakhir (di saat Allah turun ke langit dunia) untuk bermunajat kepadaNya, membaca Al-Qur'an , merenung dengan hati (muhasabah) serta mempelajari adab dalam beribadah di hadapan Allah kemudian ditutup dengan istighfar dan taubat.
10. Duduk dengan orang-orang shaleh yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah dari kalangan para ulama dan da'i, mendengarkan dan mengambil nasihat mereka serta tidak berbicara kecuali pembicaraan yang baik.
11. Menjauhi dan menghilangkan hal-hal yang menghalangi hati dari mengingat Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Demikian, mudah-mudahan catatan ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Jika ada kekurangsempurnaan dan kesalahan mohon dilengkapi sendiri, terima kasih.
Disadur dari (kalimat mutanawwi'ah fi abwab mutafarriqah karya Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd oleh Abu Muhammad) dan diberi tambahan oleh H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud.

Rabu, 13 Oktober 2010

BERDOALAH KEPADAKU, (PASTI) AKU KABULKAN DOAMU

SAMBIL TIDUR MENDEKATKAN DIRI
KEPADA ALLAH
( Serial Taman do’a )
Oleh: H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud
Seringkali kegelisahan dialami oleh seseorang ketika akan tidur. Kegelisahan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ; beban pikiran yang berat, masalah ekonomi, anak, pekerjaan dan lain-lainnya. Untuk menghilangkannya banyak cara dilakukan. Adakalanya dengan cara yang benar tetapi ada pula dengan cara yang tidak benar seperti lari ke dukun misalnya.
Islam telah mengajarkan bagaimana mencari jalan keluar atau solusi yang terbaik, diantaranya adalah membiasakan berdzikir dan berdo’a ketika menjelang tidur. Do’a menjelang tidur yang diajarkan Rasulullah kepada ummatnya, yang dapat mendatangkan ketenangan dan ketentraman bathin salah satunya adalah sebagai berikut :
اَللّهُمَّ إِنِّى أَسْلَمْتُ نَفْسِى إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِى إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ وَالْجَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَمَلْجَأَ وَلاَمَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ أَللّهُمَّ إِنِّى آَمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ
“ Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu, aku hadapkan wajahku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu serta Kusandarkan diriku kepada-Mu, penuh harap limpahan pahala-Mu kepadaku dan rasa takut akan ancaman siksa-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan melepaskan diri dari siksa-Mu, melainkan hanya kepada Engkau. Ya Allah, aku percaya kepada kitab yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi yang telah Engkau utus “. ( HR. Bukhari dari Barra’ bin Azib RA. ).
Kandungan dari do’a tersebut sebagai berikut:
1. ISTISLAM.
Berserah diri kepada Allah mutlak harus dilakukan oleh setiap insan beriman, karena kenyataannya manusia tidak mampu berbuat sesuatu tanpa ada bimbingan dan petunjuk Allah. Kesiapan dan kemampuan seseorang untuk melaksanakan perintah dan manjauhi larangan – Nya merupakan bukti nyata bahwa dia telah berserah diri kepada Allah SWT dalam arti sesungguhnya.
2. TAWAJJUH ILALLAH.
Menghadapkan diri kepada Allah mempunyai makna bahwa apa yang dilakukannya semuanya diperuntukkan untuk pengabdian kepada Allah.
3. TAFWIDHUL AMRI ILALLAH.
Menyerahkan segala urusan kepada Allah maksudnya adalah, bahwa segala usaha dan upaya manusia dalam kehidupan tidak akan terlepas dari kuasa Allah, karena itu setelah manusia berusaha hendaknya diikuti sikap tawakkal atau berpasrah diri kepada Allah SWT.
4. ISTI’ANAH ‘ALALLAH.
Menyandarkan diri kepada Allah artinya hanya kepada Allah-lah manusia memohon pertolongan dan tambahan kekuatan, sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna dalam memanfaatkan karunia Allah di dunia untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia sampai akhirat kelak.
5. AR – RAJA’.
Penuh harap atas limpahan pahala maksudnya bahwa setiap perbuatan yang baik diyakini pasti mendapat balasan kebaikan pula dari sisi Allah.
6. AL – KHAUF.
Rasa takut akan ancaman siksa dari Allah, maksudnya bahwa semua perbuatan yang tidak baik dan dosa yang tidak mendapatkan pengampunan-Nya, pasti akan mendapatkan balasan yang tidak menyenangkan, dan itulah yang dikatakan azab Allah.
7. ISTI’ADZAH.
Mohon perlindungan dan keselamatan dari azab dan siksa hanya kepada Allah karena tempat berlindung dan melepaskan diri dari azab dan siksa – Nya hanyalah Allah SWT.
8. ISTIQAMAH.
Pernyataan keimanan kepada kitab Alqur-an yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dan kepada ke-Rasul-an Nabi Besar Muhammad SAW. Keimanan tersebut diwujudkan dengan kesanggupan untuk melaksanakan perintah Allah, mengikuti jejak langkah dan tauladan Rasulullah SAW. serta menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya secara ikhlash, istiqamah dan berkesinambungan.
Agar lebih sempurna, sebaiknya dilengkapi dengan bacaan lain seperti yang diajarkan Rasulullah kepada Siti ‘Aisyah RA agar melaksanakan empat perkara sebelum tidur, sebagaimana bunyi hadits barikut ini :
ياَعَائِشَةَ، لاَتَنَامِى حَتّى تَفْعَلِى أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ، حَتّى تَخْتِمِى الْقُرْأنَ وَحَتّى اْلأَنْبِيَاءُ وَالْمُرْسَلُوْنَ يُصَلُّوْاعَنْكِ وَحَتّى الْمُسْلِمُوْنَ وَالْمُسْلِمَاتُ أَلأَحْيَاءُ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتُ رَاضُوْنَ عَنْكِ وَحَتّى تَحُجِّى وَتَعْتَمِرِى ( رؤاه أبو نعيم عن عائشة )
“ Wahai ‘Aisyah, janganlah kau tidur sebelum melaksanakan empat perkara, sebelum mengkhatamkan Alqur-an, Para Nabi dan Rasul memberikan syafa’at kepadamu, Orang Muslim laki – laki dan perempuan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati ridha kepadamu dan sebelum kau berhaji dan umrah “ ( HR. Abu Na’im dari ‘Aisyah RA. )
1. Menghatamkan Al – Qur’an, maksudnya adalah membaca surah Al - Ikhlas tiga kali dilanjutkan surah Al - Mu’awwidzatain dan ditutup surah Al-Fatihah.
2. Mengharapkan syafa’at para Nabi dan Rasul. Yang dimaksud adalah membaca shalawat kepada Nabi Agung Muhammad SAW, dilanjutkan shalawa kepada Nabi Ibrahim as. dan keluarganya.
3. Menggapai ridha Allah SWT. dengan cara mencari keridhaan umat Islam, baik yang masih hidup maupun yang telah meningal dunia. Maksudnya adalah mendo’akan kedua orang tua dan kaum muslimin dan muslimat menjelang tidur
رَب اغْفِرْلِى وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابِ
Tuhanku, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan orang mukmin sampai hari kiamat nanti
4. Berhaji dan Umrah. Maksudnya adalah sebelum tidur membaca tasbih secara lengkap sebagaimana tasbihnya orang yang sedang melakukan thawaf di Baitullah, sehingga mendapatkan nilai kebaikan orang yang melaksanakan haji dan umrah.
Adapun bacaan tasbih tersebut sebagai berikut :
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ الله ُوَالله ُأَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِّىِّ الْعَظِيْمِ
“Maha Suci Allah, segala puji hanya milik Allah, Tidak ada tuhan selain Allah dan Allah itu Maha Besar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali ( hanya anugerah ) Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
Jika umat Islam selalu membaca do’a dan berdzikir setiap akan tidur sebagaimana yang dituliskan di atas, maka dapat dipastikan hidupnya akan tentram dan damai, karena selalu berada dalam bingkai keimanan yang sempurna, tetap optimis dan percaya diri serta husnuzhzhan kepada Allah SWT. yang telah menciptakan dan memelihara dirinya.

Minggu, 10 Oktober 2010

MEMAHAMI HAKEKAT IBADAH

MEMAHAMI HAKEKAT IBADAH
Oleh : H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud
Dalam menjalani kehidupan yang sangat singkat ini, hendaknya setiap insane beriman selalu berusaha menjernihkan hati, meningkatkan tafakkur tentang tujuan hidup yang hakiki, yakni lebih meningkatkan ketaqwaan dan pengabdian kepada Allah, baik dalam bentuk kesalehan ritual maupun sosial. Dengan cara inilah manusia dapat mengisi kehidupan ini dengan nilai-nilai yang semestinya, serta mendapatkan arti hidup yang sesungguhnya. Dan senantiasa berusaha untuk menjalani misi kehidupan yang sesungguhnya tanpa mengenal lelah, yaitu dengan nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah swt.
Islam telah mensyari’atkan beberapa bentuk ibadah ritual yang seharusnya selalu dilakukan oleh setiap orang. Ada ibadah yang sifatnya harian, mingguan, bulanan atau tahunan dan ada pula bentuk ibadah yang wajib dilakukan sekali seumur hidup. Ibadah yang sifatnya harian misalnya shalat wajib lima waktu, sedangkan yang bersifat mingguan misalnya shalat Jum’at sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam selama ini. Adapun yang bersifat bulanan atau tahunan misalnya puasa di bulan Ramadhan, shalat Idul Fitri, shalat Idul Adha. Dan ada pula ibadah yang wajib sekali dalam seumur hidup, yaitu ibadah haji bagi yang mampu. Selain daripada itu, masih banyak bentuk-bentuk ibadah lain yang sifatnya tidak terikat oleh waktu, seperti halnya beri’tikaf, berdzikir, membaca Al-Qur’an, berbuat baik, beramal sholeh dan lain sebagainya yang bersifat ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Lantas apa sesungguhnya hakekat ibadah itu? Sementara banyak orang yang masih beranggapan bahwa yang dinamakan ibadah hanyalah mengerjakan shalat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan kegiatan yang lain mereka masih ragu untuk mengatakan sebagai ibadah.
Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Ta’miyah memberikan pandangan tentang ibadah secara luas dan dalam. Menurutnya, arti ibadah menurut bahasa adalah sikap taat dan tunduk secara maksimal. Sedangkan dalam ibadah terdapat suatu unsur yang sangat penting dan dominan, yaitu unsur cinta yang fitri, yang dalam hal ini tanpa unsur emosi yang menyertai. Hakikat ibadah yang menjadi tujuan daripada penciptaan manusia memang sulit dan berat untuk diwujudkan. Sebagaimana pandangan Ibnu Taimiyah berikut ini:
”Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh Allah SWT, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.”
Pada hakekatnya ibadah yang diperintahkan oleh Allah itu meliputi makna merendah diri secara khusu’, khudhu’ dan merunduk dengan penuh kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Karena substansi dan esensi cinta itu sesungguhnya adalah pengabdian dan pengorbanan secara tulus ikhlas. Kedalaman dan kesempurnaan cinta itu hanya patut diberikan kepada Allah SWT semata. Kecintaan kepada yang selain Allah, harus diletakkan dan diposisikan di bawah kecintaan kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri , kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". (QS. At-Taubah : 24)
Setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk keperluan hidupnya, dan usaha-usaha yang dikerjakan untuk kepentingan keluarganya dapat bernilai ibadah demikian pula perwujudan sarana-sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Para pegawai, para karyawan, buruh, para petani, para pedagang, pengusaha dan para pelajar dapat menjadikan pekerjaan dan segala aktivitasnya itu sebagai ibadah selama mau berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan syari’at, yaitu :
1. Setiap pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan harus disertai dengan niat yang suci, yaitu niat yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Makan dan minum dapat bernilai ibadah bila diniatkan agar dirinya sehat dan kuat sehingga dapat mengabdi dan beribadah kepada Allah. Bekerja ynag halal dapat bernilai ibadah bila dilakukan karena Allah, untuk mencari nafkah buat diri, istri, anak dan keluarganya sehingga mampu bertahan hidup untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT.
2. Setiap pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan tidak melanggar batas-batas yang ditentukan dalam syari’at, tidak berlaku zalim, tidak disertai menipu-menipu, tidak berdusta, tidak merampas hak-hak orang lain dan tidak berkhianat.
3. Setiap pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan, hendaklahdilaksanakan dengan baik, sungguh-sungguh dan profesional dengan tetap menjaga sportivitas dan akhlaqul karimah. Rasulullah SAW bersabda :
”Sesungguhnya Allah menyukai seseorang diantara kamu yang ketika mengerjakan sesuatu perkara, dilakukan dengan tekun dan teliti.” (HR. Baihaqi)
4. Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan itu bukan termasuk yang dilarang dalam islam, seperti perdagangan minuman keras, prostitusi, melakukan riba, dan hal-hal lainnya yang dilarang menurut islam. Bekerja dan beraktivitas pada hal-hal yang dialrang dalam agama tersebut bukan termasuk ibadah walaupun diniatkan untuk mencari nafkah buat anak dan istri, untuk beramal dan bersedekah dari hasil karyanya itu.tetapi semua itu merupakan kedurhakaan dan kemaksiatan serta kekejian yang berdosa besar.
5. Semua pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan jangan sampai melalaikannya dari mengingat Allah SWT. Disebutkan dalam Al-Qur’an, Allah SWT, berfirman :
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”(QS. An-Nuur : 37)
Dan firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
”Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Al-Munafiqun : 9)
Setiap aktivitas yang dilakukan dengan tetap memperhatikan hal-hal tersebut, maka apa yang dilakukan itu, bermakna dan bernilai ibadah. Sehingga dengan demikian semua aktifitas tersebut telah memenuhi panggilan Allah, sesuai dengan tujuan penciptaan manusia dan jin, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa ibadah atau menyembah kepada Allah SWT adalah tugas pokok dalam kehidupan manusia di dunia ini. Ibadah dalam arti yang luas baik yang berdimensi ritual mahdhah maupun ibadah sosial, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at, secara tulus ikhlas demi mengabdi kepada Allah dengan penuh kecintaan kepada-Nya.
Namun demikian pengabdian dan ibadah yang telah dilakukannya itu bukanlah demi kepentingan Allah, melainkan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Betapapun seluruh manusia dan jin itu berpaling dan tidak mau menyembah kepada Allah, berpesta pora dan tenggelam dalam kedurhakaan dan kemaksiatan, Allah tidak akan rugi, dan tidak akan mengurangi keagungan dan kemuliaan-Nya sedikitpun. Karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Kuasa. Kemaha muliaan dan kekuasaan-Nya tidak tergantung pada ketaatan dan kebaktian hamba-Nya.
Pujian manusia yang dipanjatkan kepada Allah tidak akan menambah kekuasaan-Nya.dan keingkaran manusia atas Allah juga tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya. Sebab, Allah yang memiliki segalanya, Allah Maha Kaya, Allah tidak membutuhkan hamba-Nya, namun hamba-Nyalah yang akan membutuhkan kemurahan-Nya.
Disebutkan di dalam hadits shahih muslim, Allah SWT berfirman :
”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu tidak akan bisa sampai kepada membahayakan Aku, lalu kamu akan memberi bahaya kepada-Ku. Dan kamu tidak akan bisa sampai memberi manfaat kepada-Ku, lalu kamu akan memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku, seandainya kamu semua dari yang paling awal hingga yang paling akhir, manusia maupun jin seluruhnya sangat taqwa(kepada-Ku), maka yang demikian itu tidak akan menambah karajaan(kekuasaan)-Ku sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, wahai hamba-Ku, seandainya kamu semua dari yang paling awal hingga yang paling akhir, manusia maupun jin seluruhnya sangat durhaka, maka yang demikian itu pun tidak akan mengurangi kerajaan(kekuasaan)-Ku sedikitpun.”(HR. Muslim)
Allah adalah Dzat yang Maha Pengasih, Pemurah dan Penyayang yang tidak akan menyuruh hamba-Nya berbuat sesuatu, melainkan di dalamnya ada kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba itu sendiri.
Setiap perbuatan yang dilakukan manusia baik ayng baik maupun yang buruk tidak berimplikasi apapun kepada Allah, tetapi semua itu, akan kembali dan diperhitungkan buat manusia itu sendiri.
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاء فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.”(QS. Fushilat : 46)
Demikianlah, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan bacaan yang berguna bagi keselamatan bersama menuju keridhaan Allah. Semoga kita mampu menjalani dan mengisi sisa kehidupan ini dengan pengabdian dan kebaktian kepada Allah SWT secara tulus ikhlas karena cinta kepada-Nya. Sehingga kita selalu mendapatkan rahmat, anugerah dan ridha-Nya, bahagia di dunia dan di akhirat, aamiin, aamiin, aamiin, yaa mujiibas-saa_iliin…….

Kamis, 07 Oktober 2010

KETELADANAN NABI IBRAHIM AS


KETELADANAN NABI IBRAHIM AS

(Sebuah Kajian Tafsir Tematis Surah An-Nahl: 120-123)

Oleh : H Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

Allah SWT. berfirman :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ * شَاكِراً لِّأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ * وَآتَيْنَاهُ فِي الْدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ * ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ *

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),~ (lagi) yang mensyukuri ni`mat-ni`mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. 120. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), ~ Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. ~ Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. An-Nahl: 120-123).
Di tengah-tengah hiruk pikuknya orang sibuk mencari idola untuk tokoh panutan, banyak orang mencari idola atau tokoh panutan berdasarkan kesamaan profesi, kesamaan bakat, kesamaan suku, kesamaan asal sekolah dan lain-lain. Nilai-nilai subyektifitas dalam mencari idola lebih banyak mewarnai diri pribadi pencari idola, sehingga kadangkala tokoh yang dijadikan idola itu sebenarnya adalah orang yang sangat tidak pantas dijadikan idola atau tokoh panutan. Bahkan ada juga yang dijadikan idola hanya tokoh kartun atau tokoh dalam dongeng belaka.
Bagi umat Islam sebenarnya tidaklah sulit untuk mencari idola atau tokoh panutan karena umat Islam sudah mendapatkan gambaran nyata tentang orang yang patut dijadikan idola, yakni Nabi Agung Muhammad SAW. Karena Nabi Muhammad SAW. memang merupakan tokoh dunia sepanjang masa yang diakui ketokohannya berdasarkan analisa ilmiah sebagaimana ditulis oleh Michael H. Hart dalam bukunya Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah di Dunia. Michael H. Hart secara obyektif telah memilih Nabi Muhammad SAW. sebagai tokoh nomor satu berdasarkan analisa dan argument yang obyektif dan ilmiah.
Jika Rasulullah Muhammad SAW. sebagai idola kita umat Islam maka pada tulisan ini saya akan memperkenalkan IDOLA SANG IDOLA, yakni NABI IBRAHIM AS. Sebagai idola dari Nabi Muhammad SAW.
Siapakah Nabi Ibrahim AS. itu?. Banyak catatan menuliskan bahwa beliau adalah seorang Nabi generasi ke enam setelah Nabi Adam, Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Shaleh. Nabi Ibrahim mempunyai silsilah sebagai berikut : Ibrahim bin Aazar (Tarih) bin Tahur bin Saruj bin Rau’ bin Falij bin Aabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh AS. Beliau lahir di Faddam A’ram yang masuk dalam wilayah Kerajaan Babylonia. Negeri Babylon pada masa itu diperintah oleh seorang raja yang zhalim yakni Namrud bin Kan’aan bin Kus bin Nuh AS.
Sejak masa muda, Nabi Ibrahim terkenal gigih mempertahankan keyakinannya terutama dalam hal konsep KETUHANAN. Dan beliau sejak muda sudah mendakwahkan ajaran tauhid kepada umat manusia yang dijumpainya. Nabi Ibrahim merupakan nenek moyang dari Nabi Muhammad SAW. dari garis keturunan Nabi Ismail AS., dan inti ajaran pokok Nabi Ibrahim AS. kemudian ditetapkan oleh Allah SWT. sebagai inti pokok ajaran Nabi Muhammad SAW. yakni agama Islam. Karena itulah wajar kalau kemudian Nabi Muhammad SAW. menjadikannya sebagai IDOLA-nya, karena itu maka penulis menyebutnya sebagai IDOLA SANG IDOLA.
Ada beberapa pokok ajaran Islam yang merupakan napak tilas Nabi Ibarahim yang oleh Allah diabadikan sebagai bagian dari SYARI’AT ISLAM, diantaranya adalah PELAKSANAAN IBADAH HAJI DI BAITULLAH dan PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN.
Sebagai muslim yang taat kepada Allah SWT. tentu akan selalu ingat peristiwa besar bersejarah yang pernah terjadi pada diri Nabi Ibrahim as. dan putranya Ismail as, yang lulus dalam ujian bakti dari Allah SWT. yakni pada saat menghadapi perintah Allah SWT. agar mengorbankan puteranya Ismail yang sangat dicintainya. Ismail as. juga mengikhlaskan dirinya dikorbankan demi menyambut perintah Allah kepada ayahnya. Keduanya; dengan jiwa besar dan pemikiran yang bijak tetap mentaati perintah Allah karena terdorong oleh keinginan untuk mendahulukan dan mementingkan iman serta cintanya kepada Allah SWT. daripada dorongan kecintaan pada dirinya atau hasrat mencari kepuasan duniawi.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur”an :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ * شَاكِراً لِّأَنْعُمِهِ.....

“ Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin ( yang dapat diteladani ) lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia tidaklah termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, yang selalu bersyukur atas nikmat Allah . . . . . ” (An-Nahl ; 120 – 121)
Ayat di atas memberikan gambaran tentang kepribadian seorang tokoh masa lalu yang pantas untuk dijadikan teladan. Ada lima kepribadian Nabi Ibrahim yang pantas diteladani yaitu :
1. Pemimpin yang ideal ( Ummah )
Ibrahim AS. yang peristiwa pengorbanannya diabadikan dalam sejarah Islam, dinyatakan oleh Allah sebagai bapaknya para nabi dan diangkat menjadi Imam ( pemimpin ) umat manusia, baik imam dalam kehidupan spiritual, rumah tangga maupun dalam masalah sosial kemasyarakatan. Firman Allah swt :

إِنِّّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ....

“ …Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau (Ibrahim) sebagai Imam (pemimpin) bagi seluruh ummat manusia …“ (QS. Al-Baqarah: 124)
Sebagai Imam, Ibrahim as. memiliki keistimewaan dibanding Nabi dan Rasul lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. sebagai seorang rasul pilihan menjadikan Ibrahim teladan baginya.
Firman Allah SWT dalam surah Al-Mumtahanah ayat 6

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Sesungguhnya pada mereka itu ( Ibrahim dan puteranya ) ada teladan yang baik bagimu; ( yaitu ) bagi orang yang meng-harap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha terpuji” (QS. Al-Mumtahanah: 6)
2. Orang yang qanit
Ibrahim merupakan sosok manusia yang sangat patuh kepada tuhannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. dipatuhi , segala perintah-Nya dilaksanakan dan larangan-Nya pun dijauhi, seluruh hidupnya hanya diperuntukkan mengabdi dan berbakti kepada Allah SWT. semata.
Pengakuan Ibrahim AS. dinyatakan dalam firman-Nya yang berbunyi :

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. “ ( QS. Al-An’am: 162 )

لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“ Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang mula pertama berserah diri ( kepada Allah ).” ( Al-An’am: 163 )
3. Orang yang hanif
Sebagai seorang yang hanif, Ibrahim senantiasa berpegang pada kebaikan dan tidak pernah tidak melakukan kebaikan. Dalam perjalanannya mencari kebenaran yang hakiki, dia mencermati peristiwa yang terjadi di alam semesta, menghayati, menganalisa kemudian menyimpulkannya. Akhirnya kebenaran yang dicari didapatkan, sebagaimana pernyataan Ibrahim dalam Alqur-an :

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“ Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cendrung kepada agama yang benar; dan aku bukanlah termasuk diantara orang yang memperselutukan Tuhan ( Allah ). “ ( Al-An’am; 79 )
4. Orang yang teguh pendirian
Sejak muda Ibrahim as telah menunjukkan semangatnya untuk berpegang pada prinsip hidup yang benar dan bersedia berkurban dalam membela keyakinannya, walaupun harus menerima hukuman yang sangat berat dan menyakitkan dirinya. Karena keteguhan pendiriannya menentang kebiasaan dan tradisi orang tua dan masyarakat itulah beliau diusir dari negerinya sendiri.
Ibrahim berpendirian bahwa pandangan ketuhanan orang tuanya, tatacara peribadatan dan penghambaan masyarakat di sekitarnya adalah tidak benar dan bertentangan dengan akal sehat serta menyimpang dari martabat kemanusiaan; karena itulah maka kemudian Ibrahim AS. mengembara ke penjuru negeri tanpa membawa bekal kecuali hanya keyakinan akan kebenaran ilahi.
Firman Allah SWT :

وَحَآجَّهُ قَوْمُهُ قَالَ أَتُحَاجُّونِّي فِي اللّهِ وَقَدْ هَدَانِ وَلاَ أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلاَّ أَن يَشَاءَ رَبِّي شَيْئاً وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيْءٍ عِلْماً أَفَلاَ تَتَذَكَّرُونَ

Ibrahim berkata ( kepada kaumnya ) : “ Apakah kalian hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk tentang itu. Dan aku tidak pernah takut kepada ( malapetaka dari ) sesembahan yang kamu persekutukan dengan Allah; kecuali jika Allah memang menghendaki malapetaka itu harus terjadi (pada diriku).” ( Al-An’am 80 )
5. Orang yang pandai bersyukur
Imannya yang mantap, ibadahnya yang khusyu’ terpadu dengan kesabaran yang luar biasa telah menghasilkan apa yang menjadi idaman hidupnya yakni keluarga sakinah mawaddah dan rahmah. Kelahiran dua orang putra di usia senjanya yakni Ismail dan Ishak AS. disambut dengan rasa syukur dan keistiqamahan, menyebabkan keluarga Ibrahim menjadi cermin keluarga masa depan. Ibrahim as. mengungkapkan rasa syukurnya sebagaimana tersebut dalam Alqur-an :

الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاء

“ Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku dihari tua (ku) Ismail dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanku, benar – benar Maha Mendengar (permohonan hamba-Nya).” ( QS. Ibrahim: 39 )
Dengan lima kepribadian tersebut, Allah memberinya beberapa anugerah tambahan sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini :

... اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ * وَآتَيْنَاهُ فِي الْدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ * ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ *

“ . . . . Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk diantara orang yang shaleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu: “ Ikutilah millah (agama) Ibrahim seorang yang hanif”, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” ( QS. An-Nahl ; 121 – 123 )
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ada lima kemulyaan bagi Nabi Ibrahim as yakni : Sebagai tokoh pilihan, terbimbing ke jalan yang lurus, kebahagiaan hidup di dunia dan kesempurnaan hidup di akhirat serta ajarannya diikuti semua Nabi dan Rasul sesudahnya, bahkan Rasulullah, seorang Rasul pilihan menyatakan bahwa ajaran yang disampaikan kepada ummatnya adalah millah Ibrahim.
Millah Ibrahim artinya ajaran Ibrahim, sebagaimana telah dinyata-kan dalam jejak langkah hidupnya yang menggambarkan tentang betapa kemantapan iman dan kepribadiannya, kesungguhan pengabdian dan pengorbanannya, serta keteguhan melaksanakan perintah Allah dalam membela serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Sebagai umat Muhammad, kita harus mampu meneladani Nabi Ibrahim AS. baik dalam hal ketekunan beribadah, tanggung jawab dalam rumah tangga maupun keikhlasan dalam berkurban sebagai bukti ketaatan dan rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Tidak sedikit Allah memberikan nikmat kepada umat manusia, baik berupa kesehatan, penghidupan dan tempat tinggal serta harta yang berlimpah, sehingga mereka tidak mampu menghitungnya, terutama nikmat yang terbesar yakni nikmat Iman dan Islam. Kedua nikmat itulah yang paling menentukan sejahtera dan bahagianya manusia di kemudian hari. Allah SWT. berfirman :

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ * إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ *

“ Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorban lah.” ( Al-Kautsar 1 – 3 )
Sebagian napak tilas Nabi Ibrahim dan keluarganya yang kemudian menjadi bagian dari syari’at Islam adalah ibadah haji dan kurban. Pada saat saudara kita sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci, marilah kita imbangi dengan semangat berkurban baik dalam bentuk penyembelihan hewan kurban maupun dalam bentuk lain, seperti bantuan kemanusiaan bagi saudara kita yang sedang ditimpa musibah gempa dan gelombang pasang tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.
Memiliki kepedulian sosial kepada sesama merupakan bukti adanya rasa cinta kasih kepada orang lain, sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as yang kemudian di tindak lanjuti oleh Nabi Besar Muhammad SAW.
Bagi muslim yang taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah serta memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama, Allah akan menjadikan jiwanya tenang dan tentram, kemudian Allah akan memasukkan mereka ke dalam golongan hamba – hamba-Nya yang shalih dan masuk ke dalam surga yang dijanjikan Allah.
Allah SWT. berfirman :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي *

“ Hai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba – hamba-Ku ( yang shalih ) dan masuklah ke dalam surga-Ku.” ( Al-Fajr 27 – 30 )
Selanjutnya marilah kita berdoa’a semoga keteladanan Nabi Ibrahim AS. yang menjadi TELADAN dari SANG TELADAN dapat memberikan manfaat bagi upaya peningkatan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. serta memberikan dorongan yang kuat agar bisa hidup lebih istiqamah. Semoga Allah senantiasa memberikan tambahan kekuatan kepada kita sehingga dapat meneladani Nabi Ibrahim as. dan keluarganya serta dapat berperan aktif melanjutkan risalah Rasulullah SAW.

Rabu, 15 September 2010

Penyuluh Agama Islam Fungsional Kabupaten Sleman


ISTIGHFAR DAN TAUBAT ADALAH KUNCI PEMBUKA RIZKI DAN KEBERKAHAN DARI ALLAH SWT.
Oleh: H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

A. PENDAHULUAN
Menggapai kesejahteraan hidup dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia merupakan satu keharusan disamping merupakan idaman setiap orang yang sehat akal fikirnya juga merupakan anjuran langsung dari Allah SWT. sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya yang berbunyi :

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QWS. Al-Qashash:77)
Untuk menggapai kesejahteraan hidup maka setiap harus mampu memanfaatkan waktu untuk menyibukkan diri mencari rizki, karena mencari rizki juga merupakan keharusan yang diperbolehkan dalam Islam selama pemnuhan hajad dan pamanfaatannya adalah dalam rangka memenuhi kewajiban kepada Allah SWT.
Dalam pandangan masyarakat sekuler (baik dari kalangan umat Islam maupun non Islam) ada pandangan bahwa jika seseorang berpegang teguh kepada ajaran Islam akan mengurangi kesempatan memenuhi kebutuhan rizki karena mereka akan selalu disibukkan oleh keharusnya melaksanakan ajaran agama secara ketat, sementara ada juga yang berpandangan bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya mereka mau menutup mata dari ketentuan syari’at Islam terutama berkenaan dengan ketentuan hukum HALAL dan HARAM.
Allah mensyari’atkan agama-Nya bukan saja sebagai petunjuk bagi umat manusia agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup di akhirat, tetapi jua untuk membimbing manusia dengan PETUNJUK-NYA agar mereka bisa mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia secara wajar, sehat dan berkwalitas sebagai jembatan untuk menggapai kedua-duanya. Sesungguhnyalah hidup di dunia ini ibarat memanfaatkan lading akhirat secara tepat guna dan berhasil guna. Bahkan Rasulullah SAW. sendiri selalu memohon kepada Allah SWT. agar di karuniai kebaikan (kebahagiaan hdiup) di dunia dan juga kebaikan (kebahagiaan hdiup) di akhirat :
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, menyatakan :
كَانَ اَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ : رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Al-Baqarah:201)
Allah dan Rasul-Nya tidak akan meninggalkan umat manusia (Islam) tanpa petunjuk dalam kegelapan dan keraguan dalam usaha mencari rizki. Tetapi sebaliknya Allah dan Rasul-Nya telah menunjukkan bagaimana cara mendapatkan rizki dengan wajar, sehat dan berkualitas (barakah), dan semuanya telah diatur dan dijelaskan dalam PEDOMAN HIDUP YANG ABADI yakni AL-QUR’AN dan AS-SUNNAH. Sekiranya ummat ini mau memahami dan menyadarinya, niscaya Allah akan memudahkan jalan untuk mendapatkan rizki yang menjadi kebutuhan pokok dalam memenuhi hajad hidupnya dari segala arah, serta akan dibukakan untuknya keberkahan dari langit dan dari bumi, dan Rasul-Nya pun telah menjelaskan tentang berbagai sebab di atas dan meluruskan pemahaman yang salah dalam usaha mencari rizki.
Firman Allah SWT:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS.Al-A’raf:96)

B. ISTIGHFAR DAN TAUBAT SEBAGAI KUNCI PEMBUKA PINTU RIZKI
Di antara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah ISTIGHFAR (memohon ampun) dan TAUBAT kepada Allah. Sebagaimana firman Allah tentang Nabi Nuh yang berkata kepada kaumnya :
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً * يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً * وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً *
“maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun--, * niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, * dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.* (QS. Nuh:10-12)
Yang dimaksud istighfar dan taubat dalam hal ini bukan hanya sekedar apa yang diucapkan lisan saja, yang tidak membekas d dalam hati sama sekali, bahkan tidak berpengaruh pada perbuatan badan. Tetapi yang dimaksud dengan istighfar adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah “meminta ampun dengan disertai ucapan dan perbuatan, bukan sekedar lisan semata”. Jadi istighfar adalah aplikasi dari apa yang ada di dalam hati yang diikrarkan dengan lisan, sehingga ada keterpaduan antara APA YANG BERSEMAYAM DI HATI, DIUCAPKAN LISAN, dan DIUJUDKAN DENGAN PERBUATAN NYATA.
Sedangkan makna taubat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah meninggalkan dosa karena keburukannya,enyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang lebih baik (sebagai ganti). Jika keempat hal tersebut telah dipenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna.
Imam An-Nawawi menjelaskan di dalam Kitab Riyadhus Shalihin bahwa : “Para Ulama berkata: ~ “Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak sesama manusia, maka syaratnya ada tiga :
أَحَدُهَا أَنْ يَقْلَعَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ, وَالثَّانِي أَنْ يَنْدَمَ عَلَى فِعْلِهَا, وَالثَّالِثُ أَنْ يَعْزَمَ أَنْ لاَ يَعُوْدَ إِلَيْهَا أَبَدًا
1. Hendaknya ia harus menjauhi maksiat tersebut.
2. Ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya.
3. Ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika salah salah satu syarat hilang, maka taubatnya tidak sah (tidak bisa dikatakan taubat dalam arti yang sesungguhnya)
Apabila taubatnya itu berkaitan dengan hak sesama manusia maka syaratnya ada empat, yaitu ketiga syarat di atas di tambah satu, yaitu hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang lain. Jika berupa harta benda maka ia harus mengembalikan, jika berupa had (hukuman) maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalas atau meminta maaf kepadanya, dan jika berupa ghibab (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.
Makna taubat secara lafzhiyah adalah kembali. Sedangkan makna secara syar’i ada dua pengertian yakni:
1. Kembali ke jalan Allah setelah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam menjalani hidup dan kehidupan, atau kembali kepada fithrahnya sebagai makhluk beragama yang memiliki nilai-nilai ketaatan kepada Allah, yang ber-susila, bermartabat tinggi serta memiliki nilai-nilai sosial (lihat Memahami Hakikat Makna Fithrah pada tulisan terdahulu).
2. Kembali kepada kesucian setelah dirinya banyak bergelimang dengan dosa karena banyak melakukan kesalahan, kemaksiatan, kemunkaran dan kebathilan atau kembali ke fithrah sebagai makhluk yang suci.

C. KEUTAMAAN ISTIGHFAR DAN TAUBAT
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (surat Nuh: 10-12) berkata: ”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya, niscaya ia akan memperbanyak rizki kalian, Dia akan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, melimpahkan air susu, memperbanyak harta dan anak keturunan untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya terdapat macam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun untuk kalian”
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shahih, bahwasanya ia berkata: ”Ada seorang laki-laki mengadu kepada Imam Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, ” Beristighfarlah kepada Allah!”. Yang lain mengadu kepada beliau tentang kemiskinan, beliau-pun berkata kepada orang itu, ” Beristighfarlah kepada Allah!”. Yang lain lagi berkata kepada beliau, ”Doakanlah (aku) kepada Allah, agar DIA memberiku anak!”, maka beliau mengatakan kepada orang tersebut, ” Beristighfarlah kepada Allah!”. Dan yang lainnya lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya, maka beliau mengatakan (pula), ” Beristighfarlah kepada Allah!”.
Di ayat yang lain Allah mengisahkan tentang seruan Nabi Hud AS kepada kaumnya agar beristighfar, sebagaimana bunyi ayat berikut ini :
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلاَ تَتَوَلَّوْاْ مُجْرِمِينَ
“Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS. Hud:52)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menyatakan: “Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar sehingga dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan bertaubat untuk waktu yang mereka hadapi (saat itu juga). Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya”.
Dan pada surat Hud ayat yang lainnya lagi Allah juga menerangkan :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنِّيَ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
“003. dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hud:3)
Imam AL-Qurthubi mengatakan: “Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Allah tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang telah dilakukannya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa-I, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ أَكْثَرَ اْلإِسْتِغْفَارُ (وَفِى رِوَايَةٍ أَخَرَ مَنْ لَزِمَ اْلإِسْتِغْفَارُ) جَعَلَ الله ُمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ.
“Barang siapa memperbanyak istighfar (dalam riwayat yang lain: Barang siapa membiasakan istighfar), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberikan rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka.”.
Dalam hadits ini<>
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. At-Tahrim:8)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi peningkatan kwalitas diri menuju peningkatan ketaqwaan pasca ramadhan sebagai upaya menjaga keistiqamahan sebagai hamba Allah
Terima kasih telah berkenan mambaca tulisan ini, semoga Allah SWT. memberkahi kita semua. Aamiin.......

Rabu, 08 September 2010

MENUJU TERCAPAINYA HAJI MABRUR (Bekal untuk Calon Jama'ah Haji)

Disajikan oleh : H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

A. PENDAHULUAN
Melaksanakan ibadah haji merupakan merupakan salah satu dari rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh umat Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT. kepada setiap muslim, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجَّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ
”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kami dan mengendarai unta yang kurus.” (QS.Al-Hajj ; 27)
Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji pasti mempunyai keinginan yang sama yakni tercapai haji mabrur. Haji mabrur adalah ibadah haji yang dilaksanakan dengan memenuhi beberapa ketentuan syar’i yaitu :
1. Dilandasi niat yang ikhlas yang didasari oleh tiga hal pokok yakni :
 Pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT. (ikhlasnya para ahli ibadah)
 Mengharapkan ridha Allah SWT. (ikhlasnya para Muhibbin)
 Memperoleh karunia tambahan dari Allah SWT. karena kamampuannya mensyukuri nikmat Allah (ikhlasnya para ’Arifin/orang yang ma’rifat kepada Allah)
2. Pelaksanaannya SHAHIH (benar dan tidak cacat)
Seluruh rangkaian manasik (upacara ritual keagamaan dalam ibadah haji yang meliputi syarat, rukun, wajib dan sunnah haji dilaksanakan dengan baik dan benar serta diimbangi oleh kemampuan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah baik ketika sedang berpakaian ihram maupun ketika tidak berpakain ihram)
3. Yang melaksanakan SHALIH (layak dan pantas)
Pada saat sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah tersebut sikap, prilaku dan ucapan dari jama’ah haji tersebut adalah layak dan pantas untuk mendapatkan predikat haji mabrur, karena itulah maka orang yang sedang melaksanakan ibadah haji tidak boleh RAFATS, FUSUQ dan JIDAL. Disamping itu orang yang sedang melaksanakan ibadah haji dan umrah harus memiliki ruh dari serangkaian amalan yang sedang dilaksanakannya. Untuk memahami ruh ibadah haji maka semua jama’ah haji harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang :
 Pengaruh ibadah haji dalam kehidupan manusia
 Makna simbolik ibadah haji

B. PENGARUH IBADAH HAJI DALAM KEHIDUPAN
Sebagaimana ibadah-ibadah lain, menunaikan haji adalah dalam rangka menuruti perintah Allah Azza Wa Jalla dan memenuhi hak-hakNya. Dan ternyata, Tidak dapat diingkari bahwa dibalik ibadah-ibadah itu terdapat pengaruh pengaruh positif dan beberapa kemanfaatan, baik bagi individu maupun masyarakat luas.
Ibadah haji, disamping banyak mengandung unsur ”ubudiyah” yang tidak dapat dijumpai secara detail dan pasti pada ibadah yang lain, juga merupakan ibadah paling nampak pengaruh positifnya dalam kehidupan kaum muslimin. Dalam hal ini Allah Azza Wa Jalla telah berfirman :
..... لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ ....
.........”Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mnyebut asma Allah.”.......... (Al-Hajj; 28)
Suatu argumentasi Qur’ani tentang disyareatkannya ’rihlah mubarakah’ yang ditempuh kaum muslimin dengan berjalan kaki dari berbagai penjuru dunia, jelas-jelas akan membuka lebar pemahaman bagi kaum muslimin, untuk merenungi berbagai macam manfaat yang dapat dialami dan disaksikan dengan jelas, sebagaimana yang disebut oleh ayat tersebut diatas.
Ibadah haji merupakan ’santapan rohani besar’ yang dapat membekali setiap muslim. Santapan yang dapat memenuhi jiwa raganya dengan khosyyah, taqwallah, kemauan yang kuat untuk selalu memenuhi perintah-perintahNya, serta perasaan menyesal ketika berbuat durhaka kepada-Nya. Santapan yang memenuhi ruhnya dengan mahabbah kepada Rasul utusan-Nya. Dan kepada siapa saja yang membela, membantu, dan mengagungkan, serta mengikuti cahaya yang telah diturunkan kepadanya. Santapan yang dapat membangkitkan jiwanya untuk memeperkokoh tali persaudaraan dengan pemeluk agama yang diajarkannya dipelbagi tempat. Dan yang dapat menyalakan api kesemangatan dan obor keantusiasan terhadap agama yang dipeluknya.
Kenyataan telah membuktikan bahwa ”bumi suci” dan tugu-tugu peringatan yang ada padanya, tanda-tanda kebesaran haji, kekuatan jemaah, dan kekuatan pikiran, serta perilaku yang ada padanya, semua itu jelas memberi pengaruh sangat positif, dalam lubuk hati seorang muslim. Sehingga dia kembali dari perjalanannya dalam keadaan yang lebih bersih sanubarinya, dan lebih suci perilakunya, disamping juga lebih kuat semangatnya terhadap segala kebajikan dan lebih kokoh benteng pertahanannya menghadapi segala tipu daya kejahatan setan yang menyesatkan.
Santapan rohani akbar ini akan mampu merubah keadaan jiwa seorang muslim secara total dalam kehidupan keseharian. Bahkan akan mampu membentuk etika baru dalam dirinya dan dapat mengembalikan jiwa seseorang seperti keadaanya sewaktu dia dilahirkan dari kandungan ibunya.
Rasulullah SAW telah bersabda :
من حج البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع من ذنوبه كيوم ولدته امه
”Barang siapa mngerjakan haji, lalu tidak berkata keji, dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali ketanah airnya dalam keadaan bersih dari segala. Seperti ketika ia lahir kandungan ibunya.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Nasai)
Selanjutnya ibadah haji merupakan latihan praktis bagi seorang muslim untuk merealisasikan prinsip-prinsip insaniyah yang luhur, yang dibawa oleh Islam. Sebagaimana telah dimaklumi bersama, bahwa Islam menghendaki agar prinsip-prinsip dan nilai-nilai sosial kemasyarakatannya, tidak hanya menjadi sekedar perlambang atau seruan-seruan saja tanpa realisasi. Itulah sebabnya dalam ibadah haji dapat dilihat makna persatuan, persamaan dan perdamaian.
Pada zaman jahiliyyah orang-orang arab menjadikan musim haji sebagai arena ”tafakkur” (persaingan) dan saling membanggakan kekuatan dan nenek moyangnya. Karena itu pada suatu kesempatan , dihari-hari tasyrik... Rasulullah SAW berdiri berpidato dihadapan khalayak ramai dan memproklamirkan kepada mereka perihal prinsip-prinsip Islam yang bersifat Internasional
اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّ رَبَّكُمْ وَاِحِدٌ وَاِنَّ اَبَاكُمْ وَاحِدٌ. اَلاَ لاَفَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى اَعْجَمِيٍّ وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِِيٍّ وَلاَ ِلأَحْمَرَ عَلَى اَسْوَدَ وَلاَ ِلأَسْوَدَ عَلَى اَحْمَرَ اِلاَّ بِالتَّقْوَى
”Hai manusia ketahuilah tuhanmu itu satu. Bapakmu juga satu. Ingatlah tiada kelebihan bagi bangsa arab atas bangsa asing dan sebaliknya. Dan tiada pula kelebihan bagi yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, dan demikian pula sebaliknya. Kecuali diukur dengan kualitas ketakwaannya.”
Memang dari dalam ibadah haji dapat dilihat makna persatuan dengan jelas, sejelas matahari disiang bolong. Persatuan dalam perasaan, perbuatan dan ucapan. Tiada sistem perbedaaan daerah atau suku. Tiada pula sistem fanatik golongan, warna kulit atau kasta. Mereka semua adalah MUSLIMUN. Kepada satu Tuhan mereka menyembah, disekeliling rumah suci (Ka’bah) mereka berkeliling, dengan satu kitab suci (Alqur-an) mereka berpegang teguh dan membaca, kepada satu utusan (Nabi Muhammad SAW) mereka mengikuti. Dan terhadap amaliyah tunggal mereka menunaikan. Adakah persatuan yang lebih dalam lagi daripada nilai yang terkandung dalam ibadah haji itu?
Diantara prinsip luhur yang dikumandangkan Islam adalah ASSALAM (perdamaian). Haji merupakan metode praktis untuk melatih seorang muslim tentang perdamaian. Sebab tidak diragukan lagi bahwa ibadah haji adalah suatu perjalanan damai menuju ketempat yang damai dan dilaksanakan dalam waktu yang damai dan di tempat yang menjanjikan kedamaian pula.
Tanah suci tempat dimana ibadah haji dilaksanakan, sungguh merupakan daerah aman yang tiada bandingnya. Meliputi burung di udara, binatang di daratan, dan segala tumbuhan di permukaan bumi. Di daerah ini tidak boleh ditangkap hewannya. Tidak boleh diganggu burung –burungnya. Bahkan tidak pula dipotong pohon dan rumput-rumputnya. Ditambah lagi bahwa sebagian besar amaliyah haji yang dilakukan berada dalam bulan Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah. Dua bulan ini termasuk dalam kategori ”AS SYAHRUL HURUM” yang telah dijadikan Allah sebagai masa perdamaian. Masa dimana pedang harus dimasukkan ke dalam sarungnya. Darah ditahan, tidak dialirkan. Dan pertempuran harus dihentikan.
Allah Azza Wa Jalla telah berfirman :
جَعَلَ اللّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَاماً لِّلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلاَئِدَ ذَلِكَ لِتَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَأَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
” Allah telah menjadikan Ka`bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Q.S. Al Maidah : 97.
Seorang muslim dikala sedang berikhram haji, jelas ia sedang berada dalam naungan perdamaian yang hakiki. Damai dengan orang lain di sekelilingnya dan makhluk-makhluk lain di sekitarnya. Dia dilarang memotong tumbuh-tumbuhan atau menegor pohon-pohonan. Dilarang pula menyembelih binatang, hasil tangkapan orang lain atau tangkapan sendiri, baik di tempat ihram, atau di luarnya. Bahkan lebih dari itu, seorang muslim yang sedang ihram, dilarang pula menyukur rambut atau menggunting kukunya sendiri, sebelum ia bertahalul.
Bayangkan! Pernahkah dunia ini menyaksikan praktek perdamaian seperti yang diciptakan oleh Islam dalam ibadah haji? ”rihlatussalam, ila ardlissalam, fi zamanissalam.” (Perjalanan damai ke tanah damai, dan pada waktu yang damai pula).
Sungguh konferensi alam Islami ini memiliki banyak makna, hikmah dan isyarat. Antara lain dapat membangkitkan cita-cita luhur dalam jiwa seorang muslim. Menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan ya’s (putus asa). Menyalakan kesemangatan. Dapat menajamkan azam. Dapat menciptakan keabadian iman. Dan dapat pula membangkitkan kembali kemauan yang sebelumnya telah pudar. Ingatlah! Srigala itu mangsanya adalah kambing yang melarikan diri dari rekan-rekannya. Maka syetanpun mangsanya adalah orang yang melarikan dari jama’ah Ittihadul Muslimin
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada tahun-tahun silam, ada seorang misionaris kristen yang memiliki kepedulian terhadap kemurnian ajaran Islam, yang menulis berdasarkan pengamatannya, mengenai sejauh mana pengaruh kristenisasi di negara-negara Islam. Dia menulis antara lain sebagai berikut : ”Islam akan menjadi batu raksasa, yang akan menumbangkan kapal-kapal kristenisasi, selama agama ini masih memiliki empat tiang. Yaitu Al Qur’an .... Jami’ Al Asyhar...... Kumpulan Mingguan (shalat jum’ah)....... dan konferensi tahunan ini (haji).”
Empat tiang ini akan tetap abadi dengan izin Allah SWT. selama masih ada manusia diatas permukaan bumi yang masih istiqamah terhadap empat hal di atas. Berkaitan dengan ibadah haji maka perlu untuk dikeetahui hikmah ibadah haji, karena orang yang mengerjakan ibadah apapun – termasuk di dalamnya ibadah haji – tentu mengharapkan semua amalannya tidak sia-sia, ”jangan jauh-jauh panjang gagang”, biaya yang dikeluarkan besar, keluarga ditinggalkan, kewajiban mencari nafkah pun diabaikan, tapi ibadah haji tidak mendapatkan apa-apa. Ini namanya rugi dunia dan akhirat.

C. MAKNA SIMBOLIK IBADAH HAJI
1. Bila dicermati, ternyata ibadah haji itu penuh dengan makna simbolik dan mengandung arti bahwa manusia harus bersih lahir batin dan berserah diri kepada Rabbul ‘Alamin, antara lain ketika ihram di Miqat, mereka sengaja (niat) beribadah haji dan mengganti pakaian biasa dengan pakaian khusus ihram. Dalam hal ini – di samping sebagai tuntutan kewajiban syar’i – ternyata tersimpan makna yang dalam, bahwa manusia baik yang berangkat haji maupun yang ditinggalkan, jika akan menghadap Allah SWT. harus segera mengganti pakaian yang kotor dengan pakaian yang bersih, pakaian maksiat segera diganti dengan pakaian taat.
2. Ketika mengganti pakaian ihram, tidak dilakukan di alam terbuka dan harus di tempat tersembunyi agar tidak terlihat aurat. Artinya, manusia pun tidak lepas dari tuntutan moral bahwa segala amal kebajikan itu harus dilakukan dengan cara tersembunyi, tertutup dari sikap riya’, tidak ingin mendapat pujian dari manusia. Sifat munafik dan lain-lain diganti dengan keikhlasan dan kejujuran, keburukan diganti dengan kebaikan.
Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya :
..... إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“… sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Q.S. Huud : 114)
3. Ketika thawaf, mengelilingi Ka’bah, atau ketika sa’i, lari-lari kecil dari Shafa ke Marwa, mengandung arti bahwa manusia tidak sungkan (dinamis) mencari dan mengharapkan rahmat Allah. Berlari memburu rida-Nya karena punya rasa takut akan siksa-Nya. Makna simbolik lainnya dari thawaf adalah bahwa sebagai muslim harus mempunyai komitmen untuk tetap menegakkan, memelihara dan menyempurnakan shalatnya
Gerakan thawaf bertentangan dengan arah jarum jam itu mempunyai arti bahwa manusia menjalani hidup dan kehidupan harus memili kesadaran bahwa semakin tua usianya sesungguhnya semakin dekat dengan batas akhir kehidupannya. Oleh karena itu manusia harus selalu berusaha untuk istiqamah dalam beribadah kepada Allah karena ajal bisa datang dengan tiba-tiba tanpa pemberitahuan sebelumnya.
4. Ketika wukuf di Arafah, berarti manusia harus ma’rifah akan kebesaran Allah, melihat dunia yang amat luas lengkap dengan segala isinya. Betapa manusia tampak hina, lemah, dan tiada berdaya di hadapan Allah Yang Maha Agung. mereka memandang kemah-kemah yang bermunculan bagaikan perumahan baru, dihuni oleh manusia dari berbagai bangsa. Di situ tiada perbedaan antara manusia yang satu dengan lainnya.
Manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul di situ, tiada permusuhan, tiada pertengkaran, dan tiada dendam. Yang ada hanya kedamaian dan persaudaraan. Manusia dipertahankan untuk bersatu dan berpegang pada tali Allah, dan dilarang bercerai-berai.
Sebagaimana firman Allah SWT :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai …” (Q.S. Ali Imran : 103)
Ketika para jama’ah haji sedang wukuf di Padang Arafah, mereka dibanggakan oleh Allah di hadapan para malaikat seraya Allah menyatakan: ”Kalian aku jadikan saksi bahwa hari ini Aku berkenan mengampuni dosa-dosa mereka walaupun mereka datang membawa dosa sebanyak bintang di langit dan pasir di pantai”
5. Ketika melempar jumrah, berarti kaum Muslimin diwajibkan melempar segala bentuk perbuatan setan yang tersembunyi, misalnya suka bermusuhan, saling caci, saling hina, dan saling merendahkan. Semua sifat itu harus dilempar (singkirkan).
Melempar jumrah merupakan lambang permusuhan abadi dengan setan laknatullah, dan juga dengan manusia yang di dalam dadanya bersembunyi setan (yang selalu menghalang-halangi gerak langkahnya membela dan menegakkan kebenaran) yang menyabot cahaya Ilahi di muka bumi.
6. Pemotongan rambut melambangkan bahwa manusia harus memotong dan menggunting segala dosanya, menggunting segala sifat yang tidak terpuji seperti riya, sombong, takabur, dan memotong sifat-sifat jelek lainnya.
7. Ketika menyembelih kurban atau dam, artinya manusia harus sanggup berkorban. Ia harus berani menyembelih urat nadi kekikirannya, berani memutuskan sifat tamak, rakus, dan ingin kenyang sendiri. Ia relakan sebagian hartanya untuk menolong mereka yang tidak punya. Ia berikan sebagian rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya kepada fakir dan miskin sebagai rasa syukur kepada-Nya. Ia sedekahkan sebagian kekayaan yang dimilikinya kepada saudara-saudaranya, kepada tetangganya yang hidup serba kekurangan.
8. Usai ibadah haji, manusia kembali ke kampung halamatnnya masing-masing. Kembali dengan pakaian serba putih, dililit sorban, dan ditutupi peci. Bukankah manusia pun harus melilitkan keimanan dan ketakwaan ke dalam dirinya, dan bukankah ia pun harus sanggup menutupi segala keburukan dengan kebaikan dan kemuliaan?

D. KESIMPULAN / PENUTUP
Haji mabrur marupakan satu proses yang memerlukan waktu yang panjang, tidak diperoleh hanya dalam waktu sesaat. Untuk mencapai haji mabrur harus diawali sejak awal mula ada keinginan untuk melaksanakan ibadah haji, kesungguhan dan kehati-hatian ketika ibadah sedang dilaksanakan serta aplikasi setelah jama’ah haji itu telah kembali ke kampung halamannya. Oleh karena itu setiap jama’ah haji harus memiliki kiat-kiat untuk melestarikan haji mabrurnya dengan cara yang telah diajarkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi Agung Muhammad SAW. Untuk mengetahui dengan jelas bagaimana cara melestarikan haji mabrur?, silahkan tunggu paparan berikutnya pada tulisan berikutnya pada alamat yang sama.

Sleman, 29 Ramadhan 1431 H. / 8 September 2010 M.
H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

Selasa, 07 September 2010

Naskah Khutbah Shalat Idul Fitri 1431 H.


DENGAN SEMANGAT KETAQWAAN, KITA TINGKATKAN SOLIDARITAS SOSIAL DEMI TERWUJUDNYA KEADILAN DAN KEMAKMURAN YANG MERATA
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ , الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ الْعِيْدَ ضِيَافَةً وَكَرَامَةً لِلصَّائِمِيْنَ, أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ , اَلْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ, وَأَشْهَدُ أََنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنُ, أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى الْمُتَّبَعِ فِى الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ, صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مُتَلاَزِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ, وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ بَدَّلُوْا نُفُوْسَهُمْ بِعِزَّةِ الإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ , أَمَّا بَعْدُ : فَيَا عِبَادَ اللهِ , أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِى بِتَقْوَا اللهِ فَاتَّقُوا الله يَا أُولِى اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ . قَالَ الله تَعَالَى :
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ
Jama’ah ied Rahimakumullah........
Pada hari yang penuh barakah, keakraban dan kebahagiaan ini, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Allah swt., yang telah menetapkan kita sebagai muslim dan menjadikan hari ini sebagai hari silaturrahim massal antara sesama muslim, guna memperbaharui semangat dan tekad kita dalam rangka peningkatan pengabdian terhadap Allah swt., serta lebih mengokohkan tali persaudaraan dan ukhuwah. Ini merupakan hal penting bagi kita guna menghadapi tugas-tugas hidup selanjutnya, dalam rangka meneruskan pembangunan kehidupan yang lebih baik, lebih maju dan lebih tertib di negeri tercinta ini. Firman Allah swt. dalam surah Hud ayat 61:
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ
“ Dialah Allah yang telah menciptakan kalian dari bumi dan menuntut kalian agar memakmurkan bumi ini. “
Kita berkumpul di tempat ini guna merayakan hari kemenangan kita, kemenangan jihad mengendalikan hawa nafsu yang sering mengganggu dan merusak jiwa.
Memerangi hawa nafsu bukanlah pekerjaan yang ringan bahkan merupakan tugas yang berat, sebagaimana dinyatakan Rasulullah ketika baru kembali dari perang Hunain yang dahsyat itu :
رَجَعْنَا مِنْ جِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى جِهَادِ اْلأَكْبَرِ
“ Sekarang kita pulang dari peperangan yang kecil menuju peperangan yang besar.“ Para sahabat bertanya : “ Apakah setelah ini akan ada peperangan yang lebih besar Ya Rasul.“Rasulullah menjawab: “ Ya “, “ Jihad memerangi hawa nafsu.“
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ
Jama’ah ied Rahimakumullah........
Sejarah telah membuktikan bahwa jatuhnya suatu bangsa dan negara berpangkal pada ketidak-mampuan warganya dalam mengendali-kan hawa nafsunya, baik penguasa maupun rakyatnya. Allah swt. mengingatkan dalam Alqur-an:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً
“ Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang kaya di negeri itu ( agar taat kepada Allah ), tetapi mereka melakukan ke-durhakaan di negeri itu, maka sudah sepantas-nya berlaku ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS, Al-Isra: 16)
Umat Islam sebagai umat yang beriman telah terpanggil oleh seruan Allah Yang Maha Agung dalam firman-Nya yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“ Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan (pula) kepada umat terdahulu, agar kamu bertaqwa.” ( QS, Al-Baqarah: 183 )
Seruan yang amat simpatik dan penuh kasih itu telah menyentuh qalbu setiap mukmin, menggugah kesadaran insan beriman untuk menyambutnya dengan penuh keyakinan serta keikhlasan. Apapun perintah yang datang dari Allah pasti akan membawa kebaikan dan keberkahan.
Kita tinggalkan makan dan minum di siang hari bulan ramadhan bukan karena tidak ada yang dimakan dan diminum, melainkan karena keyakinan dan ketaatan kepada Allah swt. Kita hidupkan malam harinya dengan shalat malam, tadarus Alqur-an, i’tikaf dan lain-lainnya, untuk lebih mendekatkan diri serta memantapkan iman dan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Berzakat, infaq dan shadaqah guna memupuk rasa solidaritas dan kebersamaan serta ukhuwah antar sesama muslim
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ
Jama’ah ied Rahimakumullah........
Bila kita tafakuri dengan seksama, keutamaan bulan suci ramadhan merupakan pencerminan dari lima macam ajaran Islam yang telah di-laksanakan oleh umat Islam, yaitu :
Pertama : Rukuk dan sujud adalah menifestasi dari pengakuan insan akan nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Meletakkan dahi sejajar dengan kaki di atas tanah yang sehari-harinya dipijak oleh seluruh makhluk, merupakan pengakuan akan ke-Agung-an Allah serta kekuasaan-Nya. Sadar atas kerendahan serta kelemahan dirinya, bahwa tiada daya dan upaya serta kekuatan apapun kecuali hanya dengan kodrat dan iradat Allah swt semata.
Kedua : Berpuasa adalah pencerminan dari ajaran Islam mengenai pentingnya nilai peri kamanusiaan yang adil dan beradab, supaya jiwanya halus, mampu merasakan penderitaan saudaranya yang lain, kemudian timbul keinginan untuk menolong
وَالله فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ
“ Allah akan tetap menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya.”
Ketiga : Berjama’ah dan berkumpul seperti saat ini adalah pengejawantahan dari nilai - nilai kebersamaan dan persatuan. Kita berkumpul saat ini bukan karena ikatan materi, melainkan karena ikatan Ilahiyyah dan ukhuwah, guna melaksana-kan salah satu firman Allah yang berbunyi:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً
“ Berpegang teguhlah kalian semua kepada agama Allah dan jangan bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian, ketika (dahulu) kalian saling bermusuhan, kemudian (Allah) meneduhkan hati kalian, maka jadilah kalian bersaudara karena nikmat-Nya.”
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ
Jama’ah ied Rahimakumullah........
Keempat : Saling mengunjungi dan bermaaf-maafan di antara sesama kita, dimulai antara suami istri, sanak saudara, tetangga dan handai taulan, adalah suatu tradisi yang bersumber dari ajaran Allah dan Rasul-Nya, yang mewujudkan rasa kasih sayang sebagai landasan kerakyatan, sebagaimana firman Allah swt.
وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“ Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, yang dengan (mempergunakan asma-Nya) kamu saling membutuhkan satu sama lain, dan ( peliharalah ) silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu men-jaga dan mengawasi kamu.” (QS, An-Nisa: 1)
Dari silaturrahim itulah kemudian dihasilkan musyawarah. Yang pada kenyataannya tidak sedikit masalah besar dapat diselesaikan melalui musyawarah dan bertukar fikiran
Kelima : Bersedekah, berinfaq dan berzakat atau zakat fitrah adalah salah satu ajaran Islam yang mengandung nilai keadilan sosial, meratakan rizki pemberian Allah kepada seluruh umat manusia, terutama untuk menunjukkan adanya rasa peduli terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain yang selalu hidup dalam kekurangan dan kesengsaraan, sebagaimana firman-Nya
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) ber-laku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran serta permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS, An-Nahl: 90)
Keadilan sosial yang merupakan hak setiap insan bagaikan patri atau perekat persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi syarat ketahanan nasional
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ
Jama’ah ied Rahimakumullah........
Lima macam sikap hidup tadi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila, yang menjadi falsafah hidup negara kita, yang dapat menjadi pendorong ke arah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, yang mendapat ridha dan ampunan Allah swt.
اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ اَلله أَكْبَرُ وَ لِلِّهِ الْحَمْدُ
Untuk melaksanakan tugas pembangunan dengan baik sangat diperlukan keahlian baik teori maupun teknis di bidangnya. Sedangkan untuk mengarahkan agar pembangunan ini sampai kepada sasarannya diperlukan sikap mental yang kuat, jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu bekal mental dan ilmu pengetahuan merupakan hal sangat penting. Firman Allah swt.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“ Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan mem-binasakan negeri secara zhalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang suka melakukan kebaikan.” ( QS, Hud: 117 )
Kita berharap dengan hikmah dan semangat yang kita peroleh dari ibadah shaum tahun ini, akan mempertebal keyakinan dan idealisme kita dalam perjuangan selanjutnya. Shaum termasuk jihad akbar sebab pelaksanaan shaum merupakan perang menundukkan hawa nafsu. Nafsu sebagai karunia Allah swt. yang amat berharga , harus dikendalikan kemudian diarahkan pada hal–hal yang berguna bagi sesama.
Jama’ah ied Rahimakumullah........
Membangun bangsa dan negarapun termasuk jihad akbar, sebab selain ia memerlukan keahlian dan kemampuan, juga membutuhkan ketahanan mental. Dengan kata lain pembangunan itu memerlukan otak, tenaga dan moral.
Selanjutnya, kita tingkatkan rasa kebersamaan, guna memupuk semangat persaudaraan dan persatuan diantara kita, memperbaharui tekad dan semangat pengabdian kepada Allah swt. bagi kepentingan manusia itu sendiri. Kita teruskan segala amalan yang kita laksanakan di bulan ramadhan ini pada bulan-bulan berikutnya
Dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya , kira harus berjuang bersama-sama memerangi kemiskinan, kebodohan, kemerosotan akhlak serta meningkatkan rasa takut dan taat kepada kepada Allah. Kita siapkan mental sekuat mungkin agar kita tetap istiqamah dan tahan uji serta tabah menghadapi segala ujian dan cobaan kehidupan ini
Pada akhirnya marilah kita bersama-sama memohon bimbingan dan petunjuknya agar semua dapat melaksanakan amanah yang telah diamanatkan oleh Allah kepada kita sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang kembali bersih dari segala noda dan dosa serta mendapat jaminan kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Amin yang Rabbal ‘alamin
ان الله وملائكته يصلون على النبي ياايهاالذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
اللهم صل و سلم وبارك على سيدنا محمد ....... الى اخر الدعاء

MEMAHAMI HAKIKAT MAKNA IDUL FITHRI

Oleh : H. Muh Chaeruddin Ibnu Mas’ud

Bulan ramadhan akan segera berlalu, dan akan datang bulan syawal yang diawali dengan pelaksanaan shalat iedil fithri, baik di masjid-masjid maupun di lapangan atau halaman sekolah / instansi yang memungkinkan untuk dilaksanakan shalat di dalamnya. Gemanya sudah bergaung jauh sebelum iedul fithri itu datang dan suasananya akan bertahan lama sampai beberapa hari dihiasi wajah-wajah gembira setiap orang mulai dari anak-anak sampai dengan yang berusia lanjut.
Ungkapan yang sudah rutin di dengar antara lain : “MINAL ‘A_IDIN WAL FA_IZIN”, ”TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM”, “KULLU ‘AAMIN WA ANTUM BI KHAIR”, “SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 Syawal MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN” dan banyak lagi ungkapan kegembiraan yang terdengar. Memang ujung daripada Ramadhan adalah IDUL FITHRI.
Idul Fithri mempunyai banyak arti; salah satu diantaranya yang berkembang di masyarakat sampai saat ini adalah HARI RAYA FITHRAH yang diidentikkan dengan saling maaf memaafkan diantara sesame. Memang pengertian tersebut tidak salah tetapi tidak seluruhnya benar atau tepatnya BELUM LENGKAP, karena ada arti lain yang lebih mengarah kepada makna yang sebenarnya.
Idul Fithri adalah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yakni ‘ID yang artinya KEMBALI, dan FITHRI yang artinya KEJADIAN, sehingga ‘IDUL FITHRI mempunyai arti KEMBALI KEPADA ASAL MULA KEJADIAN, maksudnya kembali kepada asal mula kejadian manusia saat diciptakan oleh Allah SWT. Dengan demikian maka diharapkan bahwa orang yang sudah menjalankan ibadah puasa dan seluruh rangkaian ibadah lain yang mengiringinya akan kembali kepada asal kejadiannya.sesuai dengan konsep Allah dalam penciptaan manusia.
FITHRAH adalah POTENSI ALAMIAH yang merupakan karunia Allah Yang Maha Sempurna yang telah dianungerahkan kepada seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan sejak manusia masih berupa janin, dan potensi alamiah ini berkembang seirama dengan pertumbuhan jasmani manusia itu sendiri, dan perkembangannya (baik dan buruknya) juga dipengaruhi sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-harinya.
Sabda Rasulullah SAW.:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ اِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رواه البخارى)
“Tidak ada seorang manusiapun dilahirkan melainkan (dia) dilahirkan atas fithrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan(diri)nya yahudi, atau nashrani, ataukah menjadi majusi” ~ (H.R. Bukhari)
Fitrah atau potensi alamiah yang dikaruniakan Allah kepada manusia adalah sebagai berikut :
1. Fithrah sebagai MAKHLUK BERAGAMA yang memilIki nilai-nilai ketaatan kepada Sang Penciptanya yakni Allah SWT. atau disebut juga dengan FITHRAH KEAGAMAAN
Ketika manusia diciptakan berupa janin dan telah sempurna Allah menciptakan jantung dan pembuluh-pembuluh darah ke semua bagian calon organ tubuh yang lain, ditiupkanlah ruh ke dalam janin tersebut oleh Allah SWT. Setelah itu diikatlah perjanjian antara makhluk-Nya (janin) itu dengan Sang Khalik yakni Allah SWT. sebagimana firman Allah yang berbunyi: :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",(QS. Al-A’raf: 172)
Prof. DR. CG. Young (Ahli Ilmu Jiwa Dalam) menyebut Fitrah Kegamaan ini dengan istilah NATURALITER RELIGIOSA karena fitrah ini telah dibawa oleh manusia semenjak di lahir dan diberikan oleh alam sebagai bagian dari karunia Tuhan Pencipta alam semesta.
Pada perkembangan perjalanan hidupnya, kemudian manusia lupa pada perjanjian yang pernah diikat dengan Allah. Untuk mengingatkan manusia itulah maka Allah mengutus Rasul-Rasul ke muka bumi ini dan menetapkan ajaran syari’at yang harus dilaksanakan dengan berpedoman kepada kitab suci yang menyertai diutusnya Rasul-Rasul tersebut.

2. Fithrah sebagai MAKHLUK YANG SUCI yang sejak awal dilahirkan ke dunia fana ini dalam keadaan suci tanpa membawa dosa warisan dari kedua orang tuanya maupun nenek moyangnya. Fithrah ini menjadi kotor karena pemilikinya (manusia) melakukan perbuatan-perbuatan salah dan dosa.
Menurut ajaran Islam, seorang hamba Allah baru dinyatakan berdosa jika ia melakukan perbuatan dosa apabila ia telah akil baligh atau mukallaf, jika belum mukallaf maka apa yang dia lakukan belum diperhitungkan oleh Allah, sebagaimana sabda Rasul;ullah SAW. yang berbunyi:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ, عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ (رواه ابو داود وابن ماجه)
“Diangkankan kalam (tidak dicatat sebagai suatu kesalahan/pelanggaran terhadap hukumj agama) dari tiga golongan, yakni: dari anak-anak sehingga dia baligh; dari orang yang tidur sehingga bangun (dari tidurnya); dan dari orang gila sehingga ia sembuh (dari gilanya) ~ (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Inti pokok semua ajaran Islam adalah dalam rangka mengembalikan manusia kepada kesuciannya melalui HIKMAH di balik ibadah itu.
3. Fithrah sebagai makhluk BER-SUSILA yang memiliki nilai-nilai etika dan moral yang akan menempatkan manusia pada posisi lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk yang lain dan membedakan dirinya dengan binatang. Setiap tingkah laku manusia mempunyai nilai, karena itulah maka seharusnyalah stiap perbuatan manusia harus selaras dengan fithrah yang dimilikinya.
Missi utama Rasulullah di utus ke muka bumi adalah dalam rangka menempatkan manusia pada posisi yang sebenarnya yakni sebagai manusia yang beradab dan berakhlak serta berbudi pekerti yang luhur, sebagaimana sabdanya yang berbunyi :
اِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمَّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه البخارى)
“Hanya sanya aku diutus (ke muka bumi ini) adalah untuk menyempurnakan akhlak (budi pekerti) manusia” (H.R. Bukhari)
Penghayatan terhadap inti ajaran agama yang diturunkan oleh Allah akan dapat menjadi pengendali agar manusia dapat menempatkan dirinya secara tepat menurut tatanan kehidupan yang sehat dan beradap yang berpegang pada norma-norma susila yang berlaku di masyarakat yang merupakan bagian dari pada ajaran akhlak yang mulia
4. Fitrah sebagai makhluk BER-MARTABAT TINGGI, yang memiliki nilai-nilai keunggulan dibanding dengan makhluk ciptakan Allah yang lain bahkan malaikat sekalipun. Keunggulan manusia (tetapi kadang justru menjadi kelemahannya) karena memiliki nilai-nilai INTELEKTUAL, SENI dan BUDAYA. Dengan memadukan tiga hal tersebut maka manusia dapat membudidayakan alam semesta ini dengan baik dan memanfaatkannya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia, bahkan tidak sedikit yang menjadi jembatan menuju tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan hidup di akkhirat.
Keunggulan yang lain yang dimiliki manusia adalah bahwa Allah tetalh menetapkan manusia sebagai :
• Makhluk yang terbaik, karena Allah telah menciptakan manusia dengan bentuk tubuh yang terbaik dan memiliki nilai-nilai ruhaniyah yang paling lengkap dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya, sebagaimana firman-Nya:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-sebaiknya” ~ (QS. At-Tin: 4)
• Disamping sebagai makhluk-Nya yang terbaik, manusia juga telah ditetapkan oleh Allah sebagai makhluk-Nya yang paling mulia. Kemuliaan itu dapat dilihat dari karunia Allah yang diberikan kepada manusia berupa kemampuan empiris dan penalarannya, sehingga manusia dapat dapat memanfaat isi alam ini dengan sebaik-baiknya dan dapat memadukan antara kemampuan intelektual, kemampuan seni dan keaneka ragaman budaya yang berkembang dari masa ke masa.
Firman Allah SWT.:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam dan Kami beri mereka kendaraan (baik) di darat maupun lautan serta Kami anugerahi mareka rezeki yang baik-baik, dan sungguh (telah) Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” ` (QS. Al-Isra: 70)
• Manusia juga merupakan makhluk-Nya yang paling disayang, hal ini dapat dibuktikan dengan hamparan karunia Allah yang terbentang luas di bumi dan apa yang ada di langit, kesemuanya diperuntukkan untuk manusia sebagai bukti kasih sayang Allah kepadanya.
Firman Allah SWT.:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ
“Apakah tidak kamu perhatikan, bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu, dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (ke-saan) Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. ~ (QS. Luqman: 20)
Ketika manusia mengingkari keunggulannya dan cendrung melakukan kedurhakaan kepada Allah dan melakukan banyak dosa, maka Allah menjadikan manusia itu justru lebih hina dari makhluk yang paling hina sekalipun.
Diutusnya Rasul dan ditetapkannya syari’at bagi umat manusia sesungguhnya dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak lupa diri dan selalu taat kepada ketentuannya dan dapat mensyukuri kedudukannya sebagai makhluk yang memiliki martabat yang tinggi.
5. Fitrah sebagai makhluk SOSIAL, yang memiliki ketergantungan antara yang satu dengan lainnya dan tidak dapat mencapai kesempurnaan hidup tanpa keterlibatan pihak lain sesuai dengan ketentuan-Nya
Asal mulanya manusia berasal dari diri yang satu kemudian Allah menciptakan pasangan lalu dari sepasang manusia itulah atas idzinya kemudian manusia berkembang biak dan menyebar ke seluruh belahan bumi.
Firman Allah SWT.:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“Wahaii manusia! Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) telah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (periharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” ~ (QS.An-Nisa: 1)
Dari kandungan ayat tersebut dapat diambil pemahaman lainnya, bahwa manusia harus hidup bermasyarakat yang didasari kasih sayang karena Allah. Bentuk kasih sayang diwujudkan dengan semangat tolong menolong dan kegotongroyongan, hidup dalam suasana yang harmonis, jauh dari perselisihan dan pertengkaran. Manusia hidup di tengah-tengah masyarakatnya harus ada interaksi yang sehat dan berkualitas, sehingga dapat mancapai keswempurnaan secara bersama-sama.
Ramadhan akan berlalu dan akan segera meninggalkan semuanya dalam kenangan. Adakah sisa-sisa pembinaan spiritual selama ramadhan berbekas pada diri ini?.
Sesungguhnya, seluruh kegiatan di bulan ramadhan mulai dari ibadah puasa yang dilaksanakan selama satu bulan penuh, shalat tarawih berjama’ah di masjid, tadarus Al-Qur’an, Kajian ke-Islaman, pembinaan seni budaya Islami, pembianaan kreatifitas anak, Festifal Anak Shaleh, pembayaran zakat, infaq dan shadaqah sampai dengan takbir keliling serta pelaksanaan shalat sesungguhnya dalam rangka menggiring manusia agar memperoleh kembali FITHRAH-nya sebagaimana dia mendapatkan pertama kalinya dari Allah SWT. sebagai karunia karena kasih sayang dan cinta-Nya yang luas kepada hamba-hamba-Nya.
Saudara-saudaraku, tulisan sengaja dibuat untuk menjadi bahan renungan bersama, apakah kita telah betul-betul kembali kepada fithrah kita secara utuh? telah kembali kepada asal mula kejadian kita?
Sebagai penutup marilah kita perhatikan firman Allah berikut ini:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fithrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu (agama tauhid). Tidak ada perbedaan perbedaan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” ~ (QS. Ar-Rum: 30)
Dengan mentaati Allah dan menjalankan apa yang menjadi kewajiban kepada-Nya serta berpedoman kepada Kitab suci Alqur-an, maka jalan menuju tercapainya keinginan kembali ke fithrah yang akan menghantarkan menuju tercapainya KETAQWAAN sebagaimana tujuan puasa, niscaya akan dapat diujudkan. Dengan mentaati Allah dan perpedoman kepada Kitab Suci Alqur-an dan mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW. akan menyebabkan diri ini dekat dengan-Nya dan pada saatnya nanti Allah akan membimbing fithrah-fithrah manusia itu ke arah tujuannya masing-masing, sebagaimana firman-Nya:
يَهْدِي بِهِ اللّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُم مِّنِ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٦﴾
“Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari (alam yang) gelap gulita menuju cahaya (yang terang benderang) dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus” ~ (QS. Al-Ma’idah: 16)

Sebagai ungkapan penutup perkenankan saya mengucapkan “MINAL ‘A_IDIN WAL FA_IZIN”, ”TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM”, “KULLU ‘AAMIN WA ANTUM BI KHAIR”, “SELAMAT IDUL FITRI 1 Syawal 1431 H. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN”